Selasa, 30 September 2014

Menyangkal dan Menolak Cuma Bikin Lelah.

Terkadang kita mati-matian mencari tau sesuatu sampai titik temu.
Setelah sampai pada titik itu? tak jarang kita menutup mata bila kenyataannya tak sejalan.
Atau mengelak, dan terus memaksa agar segalanya sejalan dengan kehendak kita.

Kenapa?
kenapa harus susah-susah mengelak dan tidak menerima kenyataan?
Padahal dengan menerima membuat segalanya lebih ringan.

Menyangkal dan menolak Cuma bikin lelah.
Tetapi, untuk menerima sesuatu yang tak sama dengan harapan itu berat dirasa.

Pendam saja.
Meski menyesakkan.

Terima saja.
Meski pahit dirasa.

Lelah diawal, semoga saja memang hanya diawal.
Dan seterusnya, semoga yang dituju mengerti.
Mengerti akan lelah yang dicakup rongga hati yang dipadu rindu dan ingin.

Pahami, sudah.

Luapkan, lupakan, atau pergi sekalian.
Cara-cara untuk membuat beban terangkat.

Jika letih, istirahatlah.
Jika sakit, carilah cara untuk mengobatinya.

“Lukamu akan kering, akan hilang, bila kamu berusaha mengobatinya”

Sekian saja.


IDB I lantai 6, ditepian ruangan bersama dingin dan hamparan pemandangan yang akan indah bila dimaknai.
ftrrzkm~

Selasa, 23 September 2014

Empat Lebih Baik daripada Tiga dan Aku Rindu

Aku akan bahagia bila kamu pun bahagia.
Dan sedih ini akan tercipta bila sedih mu terasa.
Karena kita sudah terlalu sering bersama saling berbagi cerita dan berbagi solusi.

Disebut teman?  bisa, sahabat? Bisa, keluarga? Pasti.

Saling pengertian, saling memahami, semoga selalu seperti ini.
Rindu terasa ketika jarak tercipta.
Teruntuk saat ini, saat kita masing-masing memiliki satu dua kepentingan yang berbeda di tempat yang berbeda.
Dan pertemuan akan terasa lebih indah dan bermakna nantinya, percayalah.

Entah bagaimana, senyum ku selalu terpancar saat beban berat sekalipun ketika kita berbicara.
Via telepon atau bahkan social media.
Hibur mu, membuat ku kembali ceria.
Apa jadinya bila tak ada kamu dalam hidupku?.

Betapa bersyukurnya aku bisa mengenalmu.
Meski kita nyatanya dipertemukan di tempat yang sama-sama tidak kita kehendaki.
Dan pasti itu sudah jalan dari-Nya, jalan yang patut kita syukuri.

Cepat pulang.
Semoga kita dapat bertemu dalam waktu dekat.
Aku rindu, dan aku yakin kamu pun seperti itu.
Sehat selalu disana dan saling mendoakan.
Fotonya diganti yang kerudungan yaaaak :3



“4 lebih baik daripada 3”


pertama kalinya lagi kumpul berempat setelah LDF-an (Idul Adha) :3

Minggu, 14 September 2014

Semusim, Sewindu, Sebisanya.

Tempat yang baru, suasana baru.
Adaptasi atau tertinggal dibelakang sana.
Siluet masa lalu masih terus menghantui.
Terserah waktu, terserah harus kapan aku lupa.
Lupa dan meninggalkan siluet masa lalu yang pedih atau barang kali lebih menyenangkan dari ini.

Tempat baru, hidup baru, dan perjuangan baru.
Waktu kemudian bertanya, kapan kamu bisa lupa?
Semusim kah?.
Sewindu kah?.
Aku pun menjawab, Sebisanya!!

Untuk apa dilupakan?, nyatanya semua itu sudah dibangun sebisanya dulu.
Untuk apa dilupakan?, bila siluet masa lalu itu masih bisa membuat senyum ku ada.
Tertawa mengingat kekonyolan tingkah ku bersama mu.
Bukakankah itu indah?, lantas untuk apa terburu-buru menghapusnya hanya karena setitik luka?.

Dibangun sebisanya, dan bila harus diruntuhkan pun sebisanya.
Biarkan sisa-sia puing masa lalu itu ada, biarkan berserakan, BIAR!

Di lantai tertinggi, di suasana baru, dan di gelapnya malam.
Biarkan aku meruntuhkannya sebisanya, semampu ku.
Meski siapapun tau, akan sulit menghapus semuanya.
Sulit menghapusnya seperti kartu memory yang rusak entah karena apa.
kembali dan kembali lagi data yang disimpannya, meski telah berulang kali di hapus.

Semusim, Sewindu, Sebisanya, atau tidak sama sekali.
Aku memilih sebisanya.
Dan membiarkan sisanya ada, dan membuatku ingat.
Ingat bila pernah ada manis, meski telah terkontaminasi oleh pahit yang hanya setitik.

ftrrzkm.
di malam yang hening, diatas atap dengan penerangan seadanya.

Sabtu, 13 September 2014

Sebuah Senyuman Pertama.

Orang asing yang saling tidak mengenal saja, bisa saling memberi senyum dan saling menyapa.
Lantas kenapa kita tidak?.
Kita sudah bukan orang asing lagi.
Meski memang tidak pernah secara resmi saling menyebutkan nama.
                         
Sebuah kemajuan dimulai.
Kamu tersenyum padaku dengan sahajamu.
Kamu tersenyum padaku dengan cara khasmu, yang aku dan orang lain tak punya.
Sampai-sampai aku lupa memberi respon.

Hari ini, entah benar-benar untukku,  ataukah untuk seseorang lain dibelakangku.
Senyummu ada, mengarah padaku.
Meski akal sehat selalu menanamkan senyum itu bukan untukku.
Tapi aku merasa cukup, melihat lengkungan itu di wajahmu.

Setidaknya senyuman pertamamu dapat kusaksikan, kunikmati, dan kukenang.
Setidaknya aku tidak perlu penasaran lagi memikirkan bagaimana bentuk senyummu.
Setidaknya aku bisa menyimpan senyum itu.
Meski nyatanya tak ada label senyum itu untukku dan akan menjadi milikku.

Senyum mu bagai bulan sabit dilangit malam sana.
Bercahaya, berbahaya, namun menenangkan hati dan berbalik membuatku tersenyum.


Setidaknya tindakan gilaku, sikap anehku dapat membuatmu tersenyum untuk kesekian kalinya lagi.

Jumat, 12 September 2014

Kerlap-kerlip langit Jakarta.

Langit Jakarta yang terpampang luas di layar kaca.
Tampak megah dimalam hari nan hening.
Bersama,  kita menatap langit di atap rumah.
Berharap doa akan lebih cepat sampai.

Akhirnya mimpi masa kecil ku, dapat tersamapaikan.
Telentang diatap rumah, menatap langit dengan tenang.
Melihat bulan meski  tanpa bintang menemani.
Menyaksikan kerlap-kerlip lampu-lampu kota  Jakarta dimalam hari.
Meski dari jarak sekian jauhnya.

Indah, bagai hamparan cahaya bening sang bulan yang memantul di perairan luas lautan.

Berharap kamu ada disini, menemani, melihat keindahan bersama, dan saling bertukar senyum.


Bersama-sama mengagumi indahnya kerlipan cahaya ini.


Bersama-sama berharap akan hal yang sama, kita dapat selalu berbicara seperti ini, meski penyatuan masih belum terjamah.


Dan untuk Jakarta yang tampak keras, sisi lembut mu terlihat ketika malam tiba untuk dinikmati.

Ilusi Hati.

Bohong yang paling menyakitkan adalah kebohongan yang dilakukan sang hati pada akal sehat.
Bohong yang paling menyebalkan adalah membohongi diri sendiri.
Mengiya kan yang tidak, dan mengtidakan yang iya.
Mengadakan yang tidak ada, dan mentidak ada kan yang ada.

Akal sehat menolak ilusi-ilusi itu.
Tapi sang hati selalu menerima ilusi-ilusi itu.
Sebuah tanda yang tidak benar-benar sebuah tanda.
Sebuah Ilusi hati yang membelenggu diri.

Awalnya terasa indah.
Akhirnya tidak terasa apa-apa, atau terlalu menyeramkan untuk di rasa.
Karena ilusi hati hanya membuat mu tersenyum di awal tanda saja.
Setelah sadar?, hilang lah semua.

Ilusi hati selalu menerbangkan jauh kelangit sana tanpa sayap sekalipun, tanpa alat sekalipun.
Ilusi hati pada akhirnya akan membuat mu jatuh terhempas dan terjerembab kedasar bumi.
Membuat luka kembali terkoyak.
Membuat bunga yang mekar di hati, kembali berguguran tak ingin tumbuh lagi.

Ilusi hati, adalah keindahan yang melukai.
Seperti mawar berduri, yang di sentuh sembarang tangan.
Atau seperti kaktus yang durinya punya makna indah sendiri.

Ilusi hati, sebuah luka yang dirasa sendiri.

Karena prasangka yang diciptakan sendiri.