Senin, 06 November 2017

Puing-puing Gedung


ilustrasi by ftrrzkm

Sadar bahwa akulah penyebab rusaknya gedung itu.
Sadar bahwa akulah penyebab runtuhnya gedung itu.
Ya, gedung yang sudah kita bangun selama hampir tiga tahun belakangan.
Maka jika kini kamu berpaling dengan yang lain
entah untuk membangun gedung baru, atau sekedar bermain-main saja
maka aku tidak berhak untuk sedih dan protes atas itu semua.

Jika kamu bertanya, bagaimana dalamnya hatiku
jawabnya masih sama, kamu!

Kini segalanya tinggal puing-puing
Aku masih mengumpulkan puing-puing itu,
berharap kamu kembali dan kita kembali menyusun segala puing itu.
Nyatanya ketika kumasih mengumpulkan puing itu.
Kamu telah berlalu pergi, semakin jauh seakan tidak ada peluang lagi.

Lantas, apa yang bisa kulakukan?
Jika mengejar saja sudah tidak ada kesempatan lagi?
Ya, hanya tersenyum membaca kisah yang abadi dalam tulisan-tulisan indahmu.

Malam ini tawaku memuai diudara, bagusnya tidak diiringi tangisan.
Tawa karena membaca kisah dua sampai tiga tahun lalu
dimana aku masih sangat polosnya mengenal apa itu cinta.
Dan aku memilih kamu, untuk dewasa bersama pertanyaan, “apa itu cinta?”

Kini semua rusak sudah, karena aku yang tidak mengerti kamu.
Karena aku yang salah tingkah, dan membuat pemberontakan terus menerus.
Menyakiti kamu, yang seharusnya kujaga selalu.

Hujan turun lagi malam ini
tidak ada lagi “Hujan Punya Cerita: Aku dan Kamu Di bawah Jaket Hitam”
atau “Hujan Punya Cerita: Hujan Tahu Kita Berdua”

Jarak semakin jauh, maka tidak ada lagi ”Saling: Membuat Kita Berjarak 0 Centimeter”
Dan aku sudah lama tidak menyesap secangkir kopi,
Karena merasa takut, lambungku akan menolaknya.
Maka tidak adalagi The Coffe Lady.

Dan kini kumerasa lapar tengah malam,
namun tidak ada lagi, Nasi Goreng Bumbu Kuning (Abstrak) yang tersaji.

Dan aku masih percaya bahwa ini “Bukan Kebtulan, Tapi Memang Rencana Tuhan
Semoga.



Ftrrzkm
7 November 2017
1.30 AM



Sabtu, 04 November 2017

Kamu yang Lalu

ilustrasi pribadi oleh ftrrzkm


Mencarimu sulit bagiku.
Ketika aku bertemu teman-teman semasa sekolah dulu, 
mereka menanyakanmu. 
Aku tak tahu harus menjawabnya bagaimana.
Hanya senyuman getir yang terbentuk dari bibir.
Kamu sudah menjadi masa laluku, jadi, untuk apa menjadi masalahku?

Sayangnya, meski memang bukan masalahku,
pertanyaan teman masa sekolah dulu,
kembali mengorek segala ingatanku tentang kenangan kita.
Tentang kisah manis masa remaja kita,
sampai kisah tragis masa dewasa kita karena sebuah perpisahan itu.

Malam semakin larut,
mataku belum juga mau tertidur.
Kuambil secarik kertas hanya untuk sekadar menuliskan namamu.
Hanya menuliskan namamu berulang-ulang,
meski kenangan manis kita tidak akan bisa diulang.

Secarik kertas itu kini sudah penuh oleh namamu,
ya hanya namamu saja.
Namun seberapa banyak pun kutulis namamu,
kamu tidak akan pernah kembali juga.
Kenapa? Jawabnya karena genggam tanganmu telah terisi oleh tangan lain,
melangkah jauh di depanku,
yang masih memikirkan penyesalan atas apa yang terjadi di antara kita.

Bukan cinta bila tak terus bersama,
bukan kasih bila kau tak memilih.
Aku dan semua yang kukorbankan demi kamu.
Waktu dan pikiranku.
Rasa senang, rasa nyaman itu.
Semua telah berlalu.
Kini aku terkoyak kenangan, tersandung keadaan.

Ingin kukeluar dari bayang-bayangmu.
Namun senyummu dan kehangatanmu terus tampak di hadapanku,
seolah mengolok-olok diriku
yang hampir setiap hari, masih mengharapkan kamu kembali.
Namun mengingat tentangmu yang manis, hanya membuatku teriris.
Inginku tinggalkan segala pahit manisnya cinta denganmu,
namun aku tidak tahu bagaimana caranya.

Beralih kuambil gawai mungil kesayangan,
tanpa kusadari
jariku menuju pesan-pesan yang pernah kaukirim padaku.
Betapa aku dan kamu begitu akrab, 
begitu mesra, begitu dan begitu.
Begitu sampai di pesan perpisanan antara kamu dan aku.

Air mata menetes lagi,
kini kuputuskan untuk menghapus manis demi manis sampai pahit pesan
yang telah kita rangkai selama hampir tiga tahun ini.
Aku tidak ingin membaca dan mengenangnya lagi,
hanya mencipta sedih dan sepi saja, sadar jika kamu telah pergi.

Lelah, aku pun tertidur dengan berteman senandung lagu.

Sadari diriku pun kan sendiri
Di dini hari yang sepi
Tetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata

Dee Lestari - Peluk

colab bareng kak Galih Setio Utomo