Ini pertama kalinya aku melihatnya serapuh itu. Menangis
sejadi-jadinya, menahan rasa sakit luar biasa yang dialaminya. Melihatnya
seperti itu membuatku seakan ingin melindunginya, sungguh baru kali ini aku
melihat sisi kekanak-kanakannya. Menangis seperti seorang anak kecil yang
terjatuh dari sepeda. Aku memang tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang ia alami, namun aku
berusaha memahami sedikit demi sedikit rasa
sakit yang ia rasakan, dan membantu sebisa tanganku menggapainya.
Katanya
dadanya sesak, nafasnya terhimpit. Aku berpikir itu karna ia sering begadang
akhir-akhir ini, dan aku mengira itu akan sesaat saja, namun ternyata itu
berlangsung lama. Tanganku meraih punggungnya mengusap-usap punggung dan
pundaknya, berharap ada sedikit rasa lega di hela nafasnya, namun nyatanya
tidak memberikan efek apapun.
“Jangan nangis, nanti makin sesek nafasnya” ujarku sambil
mengusap-usap punggungnya.
Ia semakin menangis, lebih banyak
air matanya yang luruh dibandingkan sebelumnya. Aku diam, dia diam. Aku
menunggunya berhenti menangis.
***
Ia berhenti menangis,
perlahan-lahan ia tersenyum, aku membalas senyumnya.
“Makasih ya” ujarnya tersenyum kecil.
“Sama-sama” refleks aku mengeluarkan kata-kata itu, padahal
aku masih bingung “terimaksih” untuk apa, aku merasa tidak melakukan apapun.
Hujan dalam dirinya sudah berhenti. Namun hujan dari langit
masih mengguyur bumi, tidak masalah, selama tetes air mata nya sudah berhenti
membasahi pipi
Sudah tidak usah ragu, jika ingin
menangis, maka menangislah dihadapan ku. Aku akan selalu ada, sekedar untuk
menemani atau menghapus air mata mu. Lebih hebat lagi jika aku mampu membuat
lengkung senyum mu kembali terpancar. Aku selalu ada, sadar atau tanpa sadar
mu.
Akhirnya aku dan dia saling bertukar senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar