Sabtu, 04 Juli 2015

Sebuah Surat Tanpa Alamat Penerima

Halo aku datang bersama surat ini sebagai seorang yang bahkan tidak luput dari dosa. Seseorang yang tentunya tidak suci seperti bayi yang masih seperti kertas putih tanpa dosa. Seseorang yang masih gamang akankah aku masuk dalam surga-Nya?, namun aku tidak pernah berhenti berharap dan terus berusaha untuk meraih surga-Nya, lagi-lagi ku katakan aku bukan orang yang bersih tanpa dosa.

Aku menulis ini dalam keadaan sangat tenang, tidak pernah sekalipun ku khususkan tulisan ini untuk seseorang atau siapapun, tidak pernah. Aku hanya menyalurkan apa yang aku pikirkan. Jika terjadi kesalahan, ku harap dapat di maklumi atau di koreksi, karna lagi-lagi aku bukan makhluk paling sempurna, aku hanya manusia yang tidak luput dari dosa.

Aku menuliskan ini dalam keadaan tidak sabar, khawatir semua yang ada di kepala ku lari entah kemana. Sampai-sampai aku tidak sabar menanti loading yang dilakukan dalam memproses hidupnya laptop ku.

Ini tentang kita, manusia yang semuanya tidak ada yang sempurna. Terus-terusan berusaha meraih Ridho-Nya, meraih ampunannya, atas dosa-dosa yang diperbuat. Tidak ada manusia yang bersih tanpa dosa, ada saja kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Baik kesalahan yang dilakukannya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, atau pun manusia dengan dirinya sendiri.

Yang membuatnya berbeda adalah, pilihan hidup yang diambil. Apakah ia akan terus berada di satu titik yang sama? Atau ia akan berjalan, berproses membentuk garis mencoba memperbaiki diri?. Tidak apa perubahan diri itu berjalan tidak cepat, karna semuanya pun membutuhkan proses. Mie instan saja yang disebut “instan” masih membutuhkan proses ya kan?

Aku percaya Allah maha pemaaf, Allah memaafkan umatnya yang ingin berubah dan bertaubat atas dosa-dosanya. Lantas mengapa kita umatnya yang bukan apa-apa ini sering kali enggan memaafkan sesama atas apa yang kesalahan yang diperbuatnya.

Mungkin kesalahan yang teramat sangat yang membuat mu, aku, atau kita menjadi enggan memaafkan, menjadi sangat marah, atau bahkan sampai membenci. Lantas dengan alasan itukah kita boleh mencacinya atas kesalahan yang diperbuat?, sungguh hal itu sesungguhnya tidak pantas. Terselip sebuah pertanyaan, dibayar berapakah kamu untuk membenci orang lain? Apakah hasil yang kamu dapatkan dari membenci orang lain? Memaki orang lain?, hanya akan mengotori hati lebih dalam lagi.

Aku menulis ini agar dapat mengingatkan ku, bahwa sesungguhnya manusia bukan apa-apa untuk tidak memaafkan orang lain.

Mungkin tidak saat ini kamu, aku, atau kita memaafkan kesalahan orang yang telah menyakiti kita. Mungkin nanti, mungkin butuh waktu yang lama. Menurutku cepat atau lambatnya kita memaafkan kesalahan orang lain tergantung bagaimana kita bisa memberi ruang dalam hati, sedikit celah dalam hati saja untuk ikhlas. Untuk merelakan.

Satu kutipan dari buku kesukaan ku Rectoverso yang dapat melapangkan hati disaat tersakiti, “Tenerima, menyangkal, dan menolak cuma bikin lelah”, ya menyimpan bongkahan kebencian hanya akan membuat hati lelah, dan langkah menjadi terasa berat.

Ku sudahi saja semua ini, semoga dapat berkenan di hati para pembaca secarik surat elektronik atau apalah namanya. Manusi tidak pernah lepas dari dosa, yang membedakan hanya membiarkan dosa itu berlarut atau bangkit untuk memperbaiki segalanya.

Dengan penuh ketengangan.
Ftrrzkm-

2 komentar:

  1. gue lagi mikir dosa dengan dirinya sendiri itu gimana ya?

    BalasHapus
  2. Mendzalimi diri sendiri. Melukai diri sendiri.. itu sih menurut saya dan yang saya tau.

    BalasHapus